Monday, September 14, 2009

Dieng dan Segala Keunikannya




Dataran Tinggi Dieng, desa yang diciptakan Tuhan dengan sejuta pesona dan keunikan. Sinar matahari kemerah-merahan yang biasa disebut golden sunrise bisa dinikmati sebelum memasuki Dieng. Dan tepat di pintu masuk kompleks Candi Pandawa Lima dapat disaksikan matahari terbit berwarna keperakan yang dihasilkan oleh pantulan kabut terhadap sinar matahari yang terlihat mengambang diatas kompleks Candi Pandawa Lima dan sekitarnya, orang biasa menyebutnya silver sunrise.

Belum lagi kontur yang berbukit-bukit menempatkan desa-desa di Dataran Tinggi Dieng pada lembahan-lembahan yang tertata apik. Keindahan alam lain yang disajikan di Dieng adalah Kawah Sikidang, yang merupakan gejala alam pasca vulcanis yang menarik. Kepundannya berisi air panas yang mendidih terus menerus, disertai lumpur berwarna keruh dan tak henti menyemburkan asap berwarna putih dengan aroma khas belerang yang kadang menusuk hidung.

Salah satu danau yang terkenal dengan keindahan warnanya adalah Telaga Warna yang terletak di Desa Dieng Wetan. Kata Mbah Rosmanto, yang merupakan juru kunci Goa Semar, dulu danau itu akan memantulkan warna putih, kuning, dan hijau pada permukaan air telaga. Warna itu akan terlihat jelas ketika matahari sedang terik-teriknya. Meskipun sekarang hanya bisa dilihat berwarna putih kehijauan, tapi dia terlihat menyejukkan mata dengan adanya bukit-bukit kecil yang mengelilinginya.

Selain Telaga Warna dan Kawah Sikidang, di Dataran Tinggi Dieng tersebar beberapa tempat wisata dari candi, danau atau telaga, sampai air terjun. Diantaranya adalah mata air sungai Serayu yaitu Tuk Bimo Lukar, Telaga Pengilon yang berada tepat disamping Telaga Warna, dan Goa Semar, Goa Sumur, serta Goa Jaran yang masih berada dikompleks Telaga tersebut. Tempat wisata lainnya adalah Telaga Merdada, Telaga Cebong, air terjun Sikarim, Candi Pandawa Lima, Candi Gatotkaca, Candi Bima dan beberapa tempat indah lainnya, yang menurut penulis semua sudut di Dieng menampilkan keindahan tersendiri.

Dataran Tinggi Dieng mencakup 13 Desa yang termasuk dalam wilayah kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo. Diantaranya adalah Desa Sikunang dan Dieng Wetan yang termasuk dalam wilayah kabupaten Wonosobo. Ada keunikan lain yang mungkin hanya terdapat di Dataran Tinggi Dieng. Keunikan yang oleh Sang Pencipta ditakdirkan untuk berada disana. Keunikan yang entah sejak kapan telah ada, dan tetap ada hingga saat ini. Keunikan tersebut adalah adanya anak-anak berambut gimbal, termasuk didua desa tersebut.

Bukan tidak pernah dirawat, bukan pula sengaja dibuat gimbal seperti pengikut Bob Marley, tapi rambut mereka tumbuh secara alami. Anak-anak balita sampai berumur tujuh tahun tersebut mengalami demam tinggi ketika rambut gimbal mereka tumbuh. Menurut penuturan orang tua Nafi (6 tahun), seorang anak berambut gimbal di Desa Sikunang, Nafi mengalami demam, dan rambutnya berubah menjadi lepek, sebelum akhirnya keesokan harinya telah ada rambut gimbal yang tumbuh dikepalanya.
Ada perbedaan kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat Desa Dieng Wetan dan Desa Sikunang terkait keberadaan anak berambut gimbal. Perbedaan tersebut mencakup masalah asal usul adanya anak berambut gimbal sampai proses ruwatan. Ruwatan adalah proses pencukuran rambut untuk menghilangkan rambut gimbal. Masyarakat Dieng percaya jika ruwatan itu dilakukan sesuai dengan tuntunan, maka rambut gimbal tersebut tidak akan tumbuh kembali.

Dari hasil wawancara dengan pemuka adat Desa Dieng Wetan, Mbah Rosmanto, yang juga merupakan juru kunci Goa Semar, anak berambut gimbal yang ada di Dataran Tinggi Dieng konon merupakan titipan dari Nyi Roro Kidul kepada Kyai Tumenggung Kaladete. Kyai Tumenggung Kaladete merupakan senopati yang berasal dari Yogyakarta. Kyai Tumenggung Kaladete tersebut merupakan orang yang pertama kali melakukan babat alas di Dataran Tinggi Dieng.

Sedangkan di Desa Sikunang yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, tidak meyakini adanya cerita seperti yang dipaparkan oleh sang pemuka adat Desa Dieng Wetan, Mbah Rosmanto. Meskipun rata-rata masyarakat desa tahu tentang asal-usul anak berambut gimbal seperti yang dipaparkan Mbah Rosmanto, tapi mereka tidak meyakininya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu pemuka agama, Slamet (25 tahun), masyarakat percaya bahwa terjadinya rambut gimbal adalah karena faktor keturunan namun hal ini belum pernah dibuktikan secara ilmiah. Menurut Slamet, masyarakat Desa Sikunang percaya bahwa keturunan rambut gimbal tersebut berasal dari leluhur mereka yang pertama kali melakukan babat alas, akan tetapi bukan Kyai Tumenggung Kaladete seperti yang dikatakan Mbah Rosmanto.

Beda kepercayaan terhadap asal-usul beda pula proses ruwatannya. Proses ruwatan yang dilakukan di Dieng Wetan diawali dengan memandikan anak berambut gimbal di Goa Sumur yang terletak dikompleks Telaga Warna. Kemudian dilakukan pemotongan rambut gimbal oleh Pemuka Adat di Batu Tulis yang juga masih berada di kompleks Telaga Warna. Dan proses yang terakhir adalah pelarungan rambut gimbal di Telaga Warna.

Sebelum proses ruwatan, ada beberapa tempat yang harus dikunjungi oleh sang Pemuka Adat. Tempat-tempat yang harus dikunjungi tersebut meliputi, Gunung Bisma, Gunung Kendil, Gunung Pakuwaja, Gunung Perahu, Sumber Mata Air Tuk Bimo Lukar, Sitinggil, Pertapaan Mandalasari Gua Semar, Gua Sumur, Gua Jaran, Batu Tulis, Pesanggrahan Bumi Pertolo, Telaga Warna, dan berakhir di Telaga Pengilon. Tujuan juru kunci mengunjungi tempat-tempat tersebut adalah untuk meminta ijin kepada penunggu tempat tersebut untuk mengadakan ruwatan. Menurut Mbah Rosmanto penunggu tempat tersebut merupakan makhluk yang hidup dijaman Kyai Tumenggung Kaladete.

Proses ruwatan di Desa Dieng Wetan seperti yang sempat disinggung sebelumnya berbeda dengan Desa Sikunang. Proses ruwatan di Desa Sikunang diawali dengan pembacaan Tawasul, kemudian pembacaan Shalawat, yang di ikuti dengan proses pencukuran. Proses pencukuran di ikuti oleh semua undangan yang hadir diacara tersebut. Satu persatu dari mereka ikut mencukur sedikit rambut gimbal sang anak. Kemudian diletakkan kedalam baskom yang berisi uang, telur dan bunga-bungaan.

Setelah proses pencukuran yang diikuti oleh Shalawat, undangan dipersilahkan untuk menyantap makanan yang disajikan. Proses terakhir adalah pelarungan rambut gimbal ke Kali Tulis, yang terletak di perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo. Proses pelarungan tersebut dilakukan secara terpisah dan sendiri oleh orangtua anak berambut gimbal.

Akan tetapi tidak semua masyarakat Desa Sikunang melakukan upacara ruwatan seperti diatas. Upacara ruwatan seperti diatas disesuaikan dengan kondisi ekonomi masing-masing. Bahkan Bp. Yaskur tidak melakukan upacara ruwatan. Setelah anaknya, Firman(8 tahun) mengajukan permintaan berupa mainan anak dan seekor ayam, dia langsung memenuhinya dan kemudian mencukurnya di tempat potong rambut yang terletak di kota Wonosobo.

Ruwatan atau cukuran tidak bisa dilakukan secara sembarangan, baik di Desa Sikunang maupun Desa Dieng Wetan. Jika ingin ruwatan atau cukuran anak berambut gimbal berhasil dan rambut gimbalnya tidak tumbuh lagi, permintaan anak berambut gimbal sebagai syarat ruwatan harus dipenuhi.
Permintaan mereka bermacam-macam, mulai dari mainan anak-anak, binatang ternak, sampai segelas kutu. Jika permintaan sang anak tidak dipenuhi, rambut gimbal akan tumbuh kembali.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Bp. Yaskur dan Bp. Abdul Hamid yang berasal dari Desa Sikunang, perlakuan masyarakat terhadap anak gimbal sama saja seperti perlakuan mereka kepada anak yang berambut normal. Masyarakat tidak membedakan mereka karena berambut gimbal atau normal tapi pada sifat anak-anak itu. Anak gimbal ada yang nakal, manja, egois adapula yang baik dan penurut.

Akan tetapi memang sebelum rambut gimbal tersebut dipotong, orangtua anak berambut gimbal cenderung selalu memenuhi permintaan sang anak. Dan sebisa mungkin tidak menyakiti anak berambut gimbal.

Jika di Desa Dieng Wetan percaya bahwa anak tersebut memiliki penjaga Khusus yang dikirim Nyi Roro Kidul, sehingga keinginan sang anak selalu dipenuhi. Lain halnya dengan Desa Sikunang, mereka selalu memenuhi keinginan sang anak karena merasa kasihan melihat anaknya merengek-rengek. Namun, setelah rambut gimbal dipotong, perlakuan orangtua di dua desa tersebut terhadap sang anak menjadi sama dengan lainnya.

Pandangan mengenai ruwatan pun tak lepas dari kontroversi. Ibu Djuariah yang merupakan warga Desa Sikunang memandang ruwatan dengan cara berbeda. Ibu Djuariah ingin meruwat atau mencukur anak gimbal karena kasihan melihat sang anak kucel dan terlihat tidak terurus dengan rambut gimbal yang acak-acakan. Tapi pendapat berbeda diutarakan Bapak Yaskur yang enggan mencukur rambut gimbal anaknya yang terlihat bagus dan rapih. Bapak Yaskur memutuskan mencukur rambut Firman karena anak tersebut memaksa untuk dicukur.

Sekarang, menurut Bp. Sukron, seorang perangkat desa, populasi anak berambut gimbal cenderung berkurang. Hal ini mungkin saja benar bahwa anak berambut gimbal ada karena faktor keturunan. Jika pasangan suami istri dulunya sama-sama berambut gimbal, keturunannya kemungkinan besar mempunyai rambut gimbal seperti halnya pasangan Abdul Hamid dan Djuariah. Namun, sekarang masyarakat Dieng telah memiliki akses luas ke luar daerah Dieng sehingga banyak perikahan antar daerah, sehingga memperkecil peluang lahirnya anak berambut gimbal.

Bagaimanapun sejarah asal mula adanya anak berambut gimbal di Desa Dieng Wetan maupun Desa Sikunang, pada intinya mereka percaya bahwa sifat rambut gimbal tersebut merupakan keturunan. Sehingga rambut gimbal tersebut tidak dapat ditolak atau diminta. Dan mau tidak mau mereka harus memperlakukan anak tersebut dengan baik.

Mungkin itulah yang dimaksud Mbah Rosmanto, yang mengatakan bahwa mereka merupakan anugrah. Karena memang sudah seharusnya setiap orangtua memperlakukan anaknya dengan baik. Dan sebenarnya yang membedakan perlakuan masyarakat Dieng terhadap anak-anak disana bukan karena rambut gimbalnya, tetapi lebih karena sifat-sifat mereka.

Dan pada proses ruwatan yang mereka lakukan, meskipun ada perbedaan, tapi masyarakat di dua desa tersebut sama-sama melakukan pencukuran terhadap rambut gimbal. Hal ini mengindikasikan adanya kecenderungan untuk menyebut ruwatan atau cukuran ini sebagai perwujudan kasih sayang orang tua kepada anaknya yang merupakan anugrah dari Sang Pencipta, Allah SWT. Seperti dikatakan Ibu Djuariah yang ingin mencukur rambut anaknya karena tidak mau anaknya terlihat kucel.

Jadi adanya anak berambut gimbal di Desa Sikunang atau Desa Dieng Wetan maupun di dataran Tinggi Dieng pada umumnya, bukan karena mereka tidak mempedulikan kebersihan dan kesehatan sehingga membiarkan anak-anak mereka berambut gimbal.

Akan tetapi adanya anak berambut gimbal tersebut adalah lebih karena adanya keunikan yang diberikan oleh Sang Maha Kuasa, yang harus dirawat dan diperlakukan sebagaimana mestinya.

Betapa kebesaran Sang Maha Pencipta mampu menciptakan Dataran Tinggi Dieng dengan keindahan alamnya dan dan keunikannya dengan adanya anak-anak berambut gimbal. Dan betapa hanya Tuhan Yang Maha Mengetahui, mengapa sang anak akan sakit ketika rambut gimbalnya tumbuh, dan akan sakit pula jika permintaan sebagai syarat ruwatan tidak dipenuhi, serta rambutnya yang tidak lagi tumbuh gimbal setelah proses ruwatan. Atau mungkin Tuhan akan menunjukkan jawabanya lewat ilmu pengetahuan yang harus terus kita gali.

Maha Besar Allah SWT dengan segala ciptaannya.

1 comment:

  1. wah, terimakasih, saya sedang menyelesaikan tulisan saya yang membutuhkan refrensi tentang Dieng. ini sangat membantu.... Salam kenal.

    Best Regard

    Reno.

    ReplyDelete